Analisis UU No. 24 tahun 2009
UU No 24
Tahun 2009 adalah Undang-undang yang mengatur tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan ini disahkan pada 9 Juli 2009. UU 24/2009
ini secara umum memiliki 9 Bab dan 74 pasal yang pada pokoknya mengatur tentang
praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara,
serta lagu kebangsaan berikut ketentuan – ketentuan pidananya. Setidaknya ada
tiga hal tujuan dari dibentuknya UU No 24 Tahun 2009 ini adalah untuk :
1.
memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2.
menjaga
kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3.
menciptakan
ketertiban, kepastian, dan standarisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang
negara, serta lagu kebangsaan.
Pengaturan mengenai bahasa Indonesia dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara
serta Lagu Kebangsaan masih terus menyisakan tanda tanya besar dalam benak para
praktisi hukum dan kalangan dunia usaha termasuk investor asing. Salah satu
pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut adalah bahwa bendera, bahasa
dan lambang negara serta lagu kebangsaaan merupakan sarana pemersatu, identitas
dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan
negara.
Selama ini pro dan kontra menyeruak terutama terkait
dengan ketentuan yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia.Penggunaan bahasa
Indonesia dalam Undang-Undang ini bersinggungan dengan penyusunan kontrak.Dalam
kehidupan sehari-hari penyusunan kontrak banyak ditangani praktisi
hukum.Keterkaitan ini menimbulkan implikasi besar terhadap perkembangan dunia
kontrak di Indonesia.
Pasal yang mengatur tentang nota kesepahaman atau
perjanjian yaitu pasal 31, Ketentuan Pasal 31 UU tersebut menyebutkan bahwa :
Ayat (1):
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi
pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia”.
Ayat (2):
“Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam
bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.
Pasal tersebut secara tegas mewajibkan penggunaan
bahasa Indonesia dalam perjanjian dan bila perjanjian tersebut melibatkan
pihak asing maka perjanjian tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional
pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
UU No. 24/2009 memang tidak menyebutkan sanksi
terhadap pelanggaran kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian.
Akan tetapi, banyak kekhawatiran muncul terutama terkait dengan ancaman
pembatalan terhadap kontrak-kontrak yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa
Indonesia yang melibatkan pihak asing dan menggunakan hukum Indonesia sebagai
pilihan hukumnya pada saat UU No. 24/2009 ini berlaku.
Sebenarnya bila kita membaca secara seksama bunyi
ketentuan pasal tersebut, secara tersirat, menyebutkan bahwa terhadap
perjanjian yang melibatkan pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan
kedudukan yang equal terhadap kewajiban penggunaan bahasa.Bukan hanya
mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi juga bisa ditulis dalam bahasa
nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. Akan tetapi jika kita amati lebih
lanjut, pihak pembuat Undang-Undang menggunakan frasa bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari
frasa ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan
hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak dapat
dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain bahasa Indonesia.
Namun
ada kelebihan dari pasal tersebut yaitu bahwa dengan adanya pasal 31 yang
mengatur tentang penggunaan bahasa indonesia dalam pembuatan nota kesepahaman bermaksud
untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia yang
kedudukannya sebagai bahasa paling tinggi di Negara Ini.
Solusi
untuk persoalan mengenai isi pasal 31 tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam
pembuatan nota kesepahaman ini yaitu perjanjian yang telah dilakukan sebelum UU
ini dikeluarkan dibiarkan tetap seperti aslinya, tidak perlu diubah menjadi
bahasa Indonesia semua. Namun perjanjian yang dilakukan setelah UU ini
dikeluarkan maka perjanjian wajib menggunakan bahasa Indonesia, dan jika
perjanjian tersebut dilakukan dengan pihak asing/warga Negara asing maka
perjanjian tersebut dibuat dengan menggunakan 2 bahasa, yakni bahasa Indonesia
serta bahasa warga Negara yang bersangkutan.
lebih memaknai indonesia
BalasHapus